Fokus Pada Kekuatan

Fokus Pada Kekuatan

By.  Rachel Stefanie Halim

(Penyandang Tuna Netra -Pembicara motivasi

“Bagaimana cara membangkitkan rasa percaya diri?” Pertanyaan itu diajukan oleh seorang peserta wanita kepada saya, ketika saya mengisi sesi pelatihan di sebuah instansi pemerintahan.

Waktu itu kebetulan sedang sesi pembagian Port. Terdapat 3 Port: Port Bersyukur, Port Tanggungjawab dan Port Cukup.

1. Port : “CUKUP” dibimbing oleh Ustadz Hasanudin Labai Tw.

2. Port : “TANGGUNG JAWAB” oleh Bapak Nurrachman Oerip, Sh. (mantan duta besar kerajaan Uni Sovyet dan Kamboja)

3. Port : “BERSYUKUR” dibimbing oleh saya sendiri.

Peserta dibagi dalam 3 kelompok yang akan secara bergilir memasuki port-port tersebut. Dan selama setengah jam, tiap peserta diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada para pembimbing sesuai judul port yang mereka masuki. Saat itulah, saya mendapatkan pertanyaan tersebut.

Sebelum saya menjawab, peserta wanita tersebut, sebut saja “Y”, menambahkan dengan suara sedikit bergetar, “Selama ini saya selalu merasa rendah diri.”

“Apa yang membuat ibu merasa rendah diri?” tanya saya balik, mencoba menggali akar permasalahannya, supaya saya mampu memberikan jawaban yang sesuai. Terlebih saya tidak bisa melihat secara fisik bagaimana rupa “Y”, mungkin saja ada hal-hal tertentu pada fisiknya yang menjadi sumber permasalahannya.

“Karena mata saya juga bermasalah,” jawabnya perlahan. “Saya harus memakai kacamata sangat tebal… Makanya saya jadi rendah diri.”

Dari nada suaranya yang semakin rendah, saya memperkirakan Y berbicara dengan kepala tertunduk. Sementara itu, peserta lainnya ikut diam menyimak, membuat suasana di ruangan itu menjadi hening, hening yang sendu, terbawa hawa melankolis dari perasaan seorang wanita yang baru saja mengakui kelemahannya sendiri di depan sepuluh orang lain yang mungkin selama ini hanya menjadi rekan sekerja.

Setelah hening yang cukup panjang, akhirnya saya pun menanggapi, “Mungkin setelah ibu melihat saya hari ini, ibu bisa lebih percaya diri.” Kemudian saya tersenyum, sambil menunggu dengan cemas reaksi yang akan ditunjukkan Y atas tanggapan saya.

Tanpa terduga, dengan cepat Y pun menjawab, “Iya… betul.”

Seketika terdengar gumaman setuju dari peserta lain.

“Dibandingkan dengan kondisi  saya, ibu masih terbilang beruntung,” lanjut saya kemudian. “Karena walaupun mata ibu bermasalah, tapi ibu masih bisa melihat dengan dibantu kacamata, sementara saya… kacamata model apa pun sudah tidak lagi bisa membantu saya.” Setelah menghela nafas, saya kembali berkata, “Contohnya saja sekarang, kalau ibu mau permisi ke belakang, ibu tinggal melangkahkan kaki dan pergi sendiri. Sementara saya…, Jujur saja, sebenarnya dari tadi saya sudah mau pergi ke kamar kecil. Tapi mau tidak mau saya harus menunggu orang lain yang bersedia menuntun saya, karena saya belum hafal letak bangunan di sini. Jadi, kalau masih ada yang bisa disyukuri, kenapa harus susah-susah memikirkan sesuatu hal yang hanya membuat diri kita semakin nelongso?”

Akhirnya, setelah sesi port itu berakhir, saya pun baru bisa ke kamar kecil dengan diantar seorang fasilitator.

Saat saya keluar dari kamar kecil, Y sudah menunggu. Di situ Y bercerita dengan air mata yang bercucuran bahwa hanya karena memakai kacamata tebal, dia merasa dirinya jelek. Karenanya, waktu ada seorang pria mendekatinya, tanpa pikir panjang lagi Y langsung saja menerimanya. Hanya dalam waktu beberapa bulan, mereka pun menikah, padahal Y mengaku bahwa dirinya sama sekali tidak menyukai pria itu. Akhirnya dalam waktu yang terbilang singkat, mereka pun bercerai dengan meninggalkan seorang anak. “Pernikahan yang dipaksakan hanya karena saya takut tidak laku… Saya merasa saya ini jelek.” kata Y di sela-sela tangisnya. “Sekarang saya menyesali kebodohan saya… Tapi apa boleh buat, semua sudah terjadi.”

Padahal menurut fasilitator yang saat itu mengantar saya ke kamar kecil, Y memiliki wajah yang cantik, dengan kulit putih dan postur tubuh yang lumayan tinggi.

Begitulah kisah Y, seorang wanita cantik yang merasa jelek hanya karena memakai kacamata tebal, sehingga membawanya pada keputusan yang justru menghancurkan semua harapannya.

Jika menengok masa lalu saya sendiri, saya pun pernah mengalami kondisi seperti Y, di mana merasa diri jelek dan tidak berguna, hanya karena kondisi mata saya yang tidak bisa melihat. Akibatnya membuat saya minder, tidak mau bergaul dan selalu menutup diri. Dan ternyata sikap seperti itulah  yang justru membuat saya semakin terpuruk dalam kesedihan, kesepian dan rasa mengasihani diri sendiri.

Padahal, kalau saja dari dulu-dulu saya sudah menyadari akan kelebihan dalam diri saya yang belum tentu dimiliki orang lain, maka banyak waktu yang bisa saya manfaatkan secara lebih maksimal untuk mengembangkan setiap potensi diri, dari pada hanya mengurung diri dan sibuk mengasihani diri sendiri.

Karena itu, untuk semua sahabat QQ, tips sederhana dari saya yang mungkin saat ini masih merasa kurang percaya diri :

  1. Ubah cara berpikir, bahwa dimuka bumi tidak ada manusia yang sempurna seutuhnya. Seperti saya walaupun tuna netra pasti Tuhan berikan kelebihan dalam diri saya. (Di balik setiap kekurangan pasti tersembunyi sebuah kelebihan. Di mana ada kelemahan, pasti di sana ada kekuatan. Cari, gali dan kembangkan!)
  1. Mulailah cari tahu dimana letak kelebihan atau potensi kita, contoh: Jika kamu suka bernyanyi, bernyanyilah semaksimal mungkin. Kembangkan apa yang menjadi kelebihan diri dan terus berlatih sehingga menjadi kekuatan diri kita.
  2. Jangan hiraukan apa kata orang, karena hidupmu adalah milikmu sendiri, keberhasilan dirimu tergantung dari dirimu sendiri

Saya teringat sebuah kata bijak yang disampaikan pak Nurrachman Oerip,

“Orang yang merasa pintar, maka sebenarnya saat itu dia menjadi orang yang paling bodoh!”

Jadi, jika ada orang yang mengatakan kamu bodoh, maka sesungguhnya dia sedang mengakui kalau kamu pintar.

en_US