Berita & Artikel


Mengintegrasikan Kesejahteraan Mental Karyawan (Well-being) dalam Kebijakan Human Capital

Burn-Out

Oktober 30-2025

Oleh: Marisa

In executive meeting rooms, discussions about Human Capital (HC) often revolve around hard metrics: productivity, turnover, and training costs. However, amid the pressures of digital transformation and hybrid work models, one intangible asset has become the key determinant of an organization’s long-term success: employees’ mental and emotional well-being.

Bagi Anda, para pemimpin di level supervisor hingga manajer senior (usia 35 tahun ke atas), saatnya melihat well-being bukan lagi sebagai program HR yang manis (nice-to-have), tetapi sebagai strategi bisnis fundamental yang secara langsung memengaruhi bottom line.

Dari 'Program Sehat' Menjadi 'Strategi Bisnis'

A few years ago, well-being might have meant subsidized gym memberships or free office fruits. But today, with rising cases of burnout, anxiety, and chronic stress caused by blurred work-life boundaries, well-being must be elevated to the level of strategic policy.

Mengapa Mental Well-being Is the Key to Human Capital Strategy

  1. Dampak pada Produktivitas dan Absensi:
    Employees with poor mental health tend to have higher absenteeism and presenteeism (being physically present but mentally unfocused), leading to significantly lower productivity. Global studies reveal that economic losses due to mental health issues can reach trillions of dollars annually.
  2. Retensi Talenta Kunci:
    Today’s top talent—aged 30–50—seek more than competitive pay; they value supportive and flexible work environments. Poor mental health is one of the leading causes of resignation.
  3. Meningkatkan Inovasi dan Pengambilan Keputusan:
    Stres kronis menghambat fungsi kognitif, membuat tim Anda kurang mampu berinovasi, mengambil keputusan yang kompleks, dan menyelesaikan masalah secara kreatif—kemampuan yang sangat krusial di level manajerial.

Three Pillars for Integrating Well-being into HC Policy

Untuk mengintegrasikan well-being secara efektif, Anda perlu melampaui sekadar "pelatihan kesadaran" dan menanamkannya dalam kebijakan inti operasional organisasi.

  1. Desain Ulang Beban Kerja dan Budaya Kepemimpinan

Beban kerja yang tidak realistis dan budaya kerja 24/7 adalah racun bagi kesejahteraan mental. Kebijakan HC harus fokus pada keberlanjutan kinerja, bukan hanya volume jam kerja.

  • Kebijakan Right to Disconnect: Secara formal mengakui hak karyawan untuk tidak merespons email atau pesan di luar jam kerja, terutama di lingkungan hibrida atau global.
  • Pelatihan Kepemimpinan Empatis: Supervisor dan manajer adalah garis depan. Latih mereka untuk mengenali tanda-tanda burnout di tim mereka, memimpin dengan empati, dan memprioritaskan hasil daripada sekadar waktu di meja. Kepemimpinan yang suportif adalah prediktor terbaik dari kesehatan mental tim.
  • Fokus pada Output, Bukan Input: Terapkan pengukuran kinerja berbasis hasil nyata, bukan metrik kehadiran atau jam lembur.
  1. Ketersediaan Sumber Daya dan Aksesibilitas

Support programs must be accessible, confidential, and relevant to a diverse workforce.

  • Pembaruan Employee Assistance Program (EAP): Pastikan EAP yang Anda sediakan memberikan akses yang cepat, gratis, dan rahasia ke konselor atau psikolog profesional. Promosikan EAP secara teratur, bukan hanya saat krisis.
  • Cakupan Asuransi yang Komprehensif: Review your health insurance plans to ensure mental health care (therapy, psychiatrist sessions) receives equal coverage as physical health. This sends a strong signal that both are equally valued.
  • Fleksibilitas Kerja: Kebijakan kerja hibrida, jam kerja yang fleksibel, dan opsi untuk 'hari tanpa rapat' (no-meeting days) memberi karyawan otonomi yang signifikan untuk menyeimbangkan tuntutan pekerjaan dan kehidupan pribadi.
  1. Data dan Akuntabilitas

Just like other business areas, investments in well-being must be measurable.

  • Survei Keterlibatan (Engagement Survey) yang Jelas: Tambahkan pertanyaan spesifik mengenai tingkat stres, beban kerja, dan dukungan manajerial. Gunakan data ini untuk mengidentifikasi departemen yang paling rentan.
  • Metrik Turnover dan Absensi yang Terkait Stres: Track correlations between stress survey data and turnover or presenteeism rates. Use this data to build a stronger business case for well-being investments.
  • Akuntabilitas Eksekutif: Jadikan well-being karyawan sebagai metrik kinerja (Key Performance Indicator/KPI) bagi manajer dan eksekutif. Ketika para pemimpin dipertanggungjawabkan atas kesehatan tim mereka, perubahan budaya akan terjadi lebih cepat.

Kunjungi situs kami di https://campsite.bio/qqgroup dan mengikuti media sosial kami untuk pembaruan terbaru tentang strategi manajemen human capital terkini.

Mari bersama kita melangkah menuju Indonesia hebat! 🇮🇩

id_ID