Ubi & Telur
Oleh : Rachel Stefanie
Suatu ketika, saya dihadapkan pada sebuah masalah yang membuat saya merasa begitu letih luar biasa, seolah-olah semuanya jadi tampak semakin suram dan menakutkan. Ingin rasanya melarikan diri dari apa yang tengah terjadi, malah kalau bisa langsung menghilang dan tak lagi dapat ditemukan. Tapi, saat saya membuka kulkas dan jari-jari saya menyentuh sebuah ubi ungu yang belum diolah, ingatan saya langsung melayang ke masa lalu.
Dulu, sewaktu saya masih seorang bocah kecil berusia 7 tahun, saya pernah membantu nenek mengupas ubi ungu. Saat itu saya iseng mengajukan pertanyaan kekanak-kanakan yang tiba-tiba saja melintas di benak saya kepada nenek, “Apa bedanya ubi dengan telur?”
Dengan enteng nenek langsung menjawab, “Ya, bedalah. Ubi dari tanah, telur dari ayam.”
“Salah!” sahut saya cepat.
“Terus, apa dong?” tanya nenek sabar.
Sambil mesem-mesem mirip anak kucing baru dapat ikan asin, saya pun menjawab, “Kalau ubi direbus jadi lembek. kalau telur direbus jadi keras.”
Sekarang, di usia saya yang sudah dewasa ini, pertanyaan dan jawaban kekanak-kanakan itu justru memberi saya sebuah pencerahan :
Ubi dan telur masing-masing telah menghadapi masalah yang sama, sama-sama direbus di dalam air mendidih. Tapi, masing-masing memperlihatkan reaksi yang berbeda.
Ubi itu kuat dan keras. Tapi saat di hadapkan pada masalah, ubi menjadi lembek. Sementara telur yang tadinya rapuh, mudah pecah, saat dihadapkan pada masalah justru menjadi kuat dan keras.
Jadi, termasuk yang manakah diri saya sekarang? Ketika kesusahan datang, bagaimanakah reaksi saya dalam menghadapinya? Apakah saya akan menjadi seperti ubi yang kelihatan kuat dan keras, tapi langsung melemah saat masalah datang, ataukah seperti telur yang kelihatan rapuh, tapi justru semakin kuat kala masalah menerpa?
Sekarang saya mengerti satu hal :“Jangan kuatirkan masalah, karena masalah pasti akan datang. Tapi kuatirkanlah bagaimana reaksi kita dalam menghadapi semuanya itu.”