Rasa Syukur


Shan Guo

Penulis : Huang Xing Rong

Penerjemah : Ss. Lie Ing Sen

Belajar tentang rasa syukur dan belas kasih kepada sesama dari sebuah renungan seorang nenek di Beijing yang sudah viral di media sosial.

Saya sering mengeluh hidupku tidak memuaskan…

Saya tahu berpikir demikian tidak ada salahnya, kan manusia selalu ingin melihat ke atas, seperti halnya air akan selalu mengalir ke tempat yang rendah…

Namun bagaimana yang namanya hidup yang memuaskan itu…???

Harus dibandingkan dengan siapa…???

Saya pun agak bingung jadinya…!!!

Sampai beberapa hari yang lalu ketika saya bepergian keluar kota, sebuah kejadian rasanya sedikit membuat aku menemukan jawaban bagi pertanyaan di atas itu…!!!

Waktu itu aku berangkat dari Beijing ke Yun Nan, saat kereta api sampai di perbatasan propinsi Yun Nan, dari jendela yang terlihat hanya gunung-gunung dengan hutannya yang lebat.

Kereta berhenti di stasiun Sha Woo selama 2 menit.

Mendadak terlihat sekelompok remaja usia 12 – 13 tahun, dengan pakaian lusuh dan compang camping sambil masing-masing memanggul keranjang, berdesakan berusaha naik ke atas kereta api. Keranjang yang besar-besar itu nampaknya menyulitkan mereka untuk naik ke atas kereta.

Di bagian gerbong saya, naiklah seorang remaja putri yang kurus sekali. Dia memanggul sekeranjang penuh buah He Dao (Kacang Kenari).

Setelah susah payah menurunkan keranjangnya, lalu dengan tangannya sibuk mengusap keringat di mukanya sambil merapikan rambutnya ke belakang kepala, terlihat wajahnya yang tirus dan cantik tapi pucat, bajunya penuh tambalan di sana sini, begitu pula celana bututnya penuh tambalan, jelas-jelas mencerminkan seorang anak desa yang sangat miskin.

Gerbong ini penuh penumpangnya, gadis itu terlihat agak segan berdiri nempel di dekatku, satu tangannya berpegangan di pinggiran kursi, sekuat tenaga menunjang badannya supaya tidak mepet ke tubuh saya.

Saya berusaha memberi sedikit tempat untuk dia duduk, namun kursi yang hanya cukup untuk duduk berdua jelas tidak mungkin lagi buat 3 orang duduk bersamaan. Maka saya berusaha menggeser tempat, supaya gadis itu bisa berdiri lebih nyaman, dan bantu dia merapikan keranjangnya, agar tidak menghalangi orang lewat. Gadis itu membalas dengan senyuman penuh terima kasih, dibukanya tutup keranjang, lalu mengambil segenggam besar He Dao untuk secara paksa dimasukkan ke saku bajuku.

Aku menolak menerimanya tapi tak berdaya, karena gadis itu sangat ngotot sekali ingin memberi hadiah kepadaku.

Pelan-pelan gadis itu sudah lebih akrab denganku, dari logat bahasa dusun yang sulit saya tangkap, akhirnya saya paham bahwa usianya baru 14 tahun, jarak rumahnya dari stasiun Sha Woo kira-kira beberapa puluh km.

Kebunnya sedang panen banyak buah He Dao, tapi karena mobil tidak bisa masuk ke desanya, kalau mau menjual hasil kebun ya harus memikul dan berjalan ke tempat yang sangat jauh.

Saat ini ibunya sedang sakit, butuh uang untuk berobat, maka bapaknya menyuruh dia keluar menjual He Dao, ceritanya. Dia bangun tengah malam dan berjalan sampai petang berikutnya…

Lalu menginap semalam di sebuah goa, pagi-pagi jalan lagi baru bisa mengejar kereta ini di Stasiun Sha Woo.

Nanti setelah habis menjual He Dao, pulangnya masih harus berjalan kaki sehari semalam baru sampai di rumah.

“Perjalanan yang jauh gitu, apa kamu ngga takut…???” tanya saya.

“Saya ada teman kok, begitu naik ke atas kereta kami berpencar, nanti pas turun akan ketemu lagi” jawabnya penuh keyakinan.

“Jalan jauh begini, menjual 1 keranjang He Dao bisa untung berapa…???”

“Setelah dipotong ongkos kereta pulang pergi, sisanya ya sekitar 15 – 16 Yuan lah!” jawabnya sambil tersenyum… (1 Yuan = Rp. 2.000,-)

Jelas nampak kalau angka itu membanggakan dirinya. “Loh, masih ngga cukup untuk makan sehari donk!” celetuk penumpang di samping saya.

Gadis itu cepat menjawab : “Kami ada membawa bekal juga.”

Penumpang kepo itu tanya lagi : “Bekal apa yang kamu bawa?”

“Saya sudah makan sekali, masih ada sebungkus di bawah tumpukan buah He Dao itu. Bapakku bilang setelah He Dao nya habis terjual, baru boleh dimakan!”

“Kamu bawa bekal apa sih?” desak penumpang kepo itu lagi.

 “Ubi Merah!” jawab gadis itu dengan lirih malu-malu.

Seketika… Semua penumpang yang mendengar langsung merasa terenyuh dan sedih.

Pada saat itu, ada pengumuman bahwa kereta harus berhenti 30 menit sebelum masuk ke stasiun berikutnya.

Aku cepat-cepat menggunakan kesempatan ini bicara kepada para penumpang, bahwa : “He Dao yang dibawa anak itu sangat enak sekali, diharapkan semua penumpang mau membeli untuk oleh-oleh!”

Langsung ada yang tanya : “Berapa harganya 1 kati? (1 kati = 1/2 kilogram)”

“Ibu memberi tahu saya, 10 buah He Dao harganya 0,25 Yuan, ga bisa kurang lagi”, kata gadis itu.

Aku timpali… Wah murah sekali, di tempat saya malah 8 Yuan satu katinya loh!

Para penumpang jadi berebut membeli, saya bantu anak itu menghitung buah He Dao, dia sibuk menerima dan menghitung uangnya. Sebentar saja He Dao nya laku lebih dari 2/3 keranjang.

Gadis itu dengan cermat membenahi uang receh yang diterimanya dengan penuh sukacita.

Sudah hampir sampai tujuan, gadis itu akan turun dari kereta.

Saya bantu dia memanggulkan keranjang di punggungnya.

Saya ambil sepasang baju dan celana warna merah dan masukkan di keranjangnya sambil berkata, “Ini adalah baju yang saya belikan untuk keponakanku, sekarang saya kasih kamu untuk dipakai setelah pulang ke rumah nanti ya!”

Terlihat gadis itu sangat gembira, sambil memiringkan badan berusaha melihat baju yang saya berikan, sambil berucap terima kasih!

Bersamaan dengan itu ada 4 orang pemuda pekerja musiman yang sedang main kartu di dekat kami, cepat-cepat berdiri masing-masing memberikan uang kertas 50 Yuan ke gadis itu sambil berkata : “Gadis kecil kami memang sdh tidak bisa membawa barang lagi, makanya tidak beli He Dao kamu, tapi uang ini untuk kamu bawa pulang dan belilah obat buat ibumu ya, semoga ibumu cepat sembuh!”

Gadis itu menangis, mukanya memerah, mungkin karena bingung tidak mampu mengucapkan kata-kata lagi.

Gadis kecil itu akhirnya turun dari kereta api, tapi kembali ke depan jendela kereta dan mengucapkan terima kasih kepada 4 orang pekerja musiman yang balik kampung itu.

“Kakak….. Kakak……” sambil meleleh air matanya bingung, entah ingin mengucapkan apa!!!

Kemudian mampir lagi di depan jendela kereta saya.

“Nek… Nenek, baju yang nenek berikan itu saya simpan dulu, dan akan saya pakai saat saya menikah nanti….” Sambil sesenggukkan…. “Nenek, namaku SHAN GUO, Nek.., SHAN… GUO…”

Sejenak stasiun ini pun sudah ditinggalkan oleh kereta api.

Dalam hatiku masih menggema sebuah nama… Shan Guo…

Diam-diam air mataku juga sudah mengalir tanpa bisa dibendung lagi…

Bersyukur, sebuah kata sederhana namun memiliki makna dan dampak yang sangat luar biasa. Bersyukur membuat hidup menjadi terasa indah, membuat yang sedikit terasa cukup, mengubah apa yang kita miliki menjadi lebih berharga, mengubah masalah yang kita hadapi menjadi hikmah yang bernilai.

Bersyukurlah untuk masa-masa sulit, karena di masa itulah kita tumbuh…

Bersyukurlah untuk keterbatasan karena itu memberikan kita sebuah kesempatan untuk berkembang…

Bersyukur untuk setiap tantangan baru karena itu akan membangun kekuatan dan karakter kita…

Bersyukur pula untuk setiap kesalahan yang kita buat karena dengan demikian itu akan mengajarkan pelajaran yang berharga…

Karena sesungguhnya dengan kita selalu bersyukur dapat mengubah hal yang negatif menjadi positif…

Maka jika bersyukur itu banyak mendatangkan kebaikan, mengapa kita lupa dengan nikmatnya yang akan membuat hidup terasa sempit bahkan merasa serba kurang…???

Bersyukurlah atas apapun keadaan kita, karena di balik itu tentu ada hikmahnya…

Ternyata di dunia ini masih ada sekelompok orang yang Sederhana, Penuh empati, dan Welas asih. Jadi Orang Harus Bisa Bersyukur Dengan Apa Yang Telah Dimilikinya Selama Ini.

en_US