BERANI BERUBAH!

BERANI BERUBAH!

By. Rachel Stefanie Halim

Tidak ada satu orang pun yang ingin meninggal. Bahkan mereka yang ingin masuk surga juga tidak ingin meninggal untuk dapat masuk ke sana. Namun kematian adalah sesuatu yang pasti dan menjadi tujuan kita bersama. Tidak ada satu orangpun yang berhasil kabur dari kematian. Tapi sebenarnya tanpa disadari, kebanyakan dari kita justru sudah mengalami kematian dalam kehidupan. Alias, mengalami mati selagi masih hidup.

Kok, bisa?

Ya, karena kematian yang sesungguhnya adalah saat kita sudah merasa nyaman atau puas dengan kondisi kita saat ini, tidak mau berubah, malas memulai hal baru, atau berpikir sudah terlalu tua untuk belajar sesuatu yang baru. Padahal, kenyataannya tidak akan pernah ada orang yang benar-benar sukses tanpa adanya tantangan keluar dari zona nyaman.

Sebagai seorang tunanetra, sejak kecil saya sudah di hadapkan dengan berbagai-bagai tantangan, baik dari luar diri saya, maupun dari dalam diri saya sendiri.

Tantangan yang berasal dari luar salah satu contohnya seperti menerima penolakan, baik dari pihak sekolah, guru les, sampai penolaakan dari teman-teman. Alasannya? Semuanya sama, yaitu karena saya berbeda dari orang-orang kebanyakan, dan mereka tidak biasa berinteraksi dengan seorang tunanetra seperti saya.

Sementara tantangan dari dalam diri saya sendiri, dan saya katakan bahwa justru tantangan inilah yang menjadi musuh utama saya, yaitu kemalasan!

Tak peduli semua orang menolak saya, atau mengatakan saya aneh, di luar kebiasaan, atau dianggap tidak mampu, hanya menjadi baeban orang lain karena jalan saja harus dituntun, selama saya tidak malas, maka saya pasti akan berhasil!

Tapi kalau sebaliknya, walaupun semua isi dunia ini menerima saya, memastikan bahwa saya mampu melakukan segala sesuatu walau pun mata saya tidak bisa melihat, namun diri saya sendiri malas, maka sudah bisa dipastikan hidup saya akan menderita.

Jadi, yang menentukan saya berhasil atau tidak, bukan karena mata saya yang tidak bisa melihat, melainkan bagaimana saya berani berubah, melangkah untuk keluar dari zona nyaman, mau memulai hal baru meski sulit. Karena yang menjadi point utama saya adalah “Sulit tapi bisa” bukannya “Bisa tapi sulit”.

Kita semua tahu bagaimana zaman terus berputar, teknologi semakin canggih. Saat ini kita hidup dalam zaman percepatan. Kita dituntut untuk terus bergerak maju, bukan diam di tempat, atau bukan juga bergerak pada ritme yang sama terus-menerus. Karena kalau demikian, kita akan tergilas oleh percepatan teknologi, kita akan mati!

Saya memang tunanetra, itu sudah takdir saya. Tapi bagaimana nasib hidup saya selanjutnya itu ditentukan oleh diri saya sendiri. Menyadari akan keterbatasan diri, maka saya pun harus ikut bergerak cepat, saya tidak mau mati tergilas roda zaman. Setelah menyelesaikan S1 pendidikan, saya lanjut mengikuti kursus komputer bicara (Komputer yang sudah diinstall program pembaca layar). Bisa dibilang sudah terlambat, seharusnya saya menguasai komputer bicara minimal saat saya mengerjakan skripsi, jadi saya tidak perlu susah-susah mencari-cari volunteer yang bersedia untuk membacakan saya buku-buku, mengetikkannya di komputer, DSB. Tapi sekali lagi, tidak ada kata terlambat untuk belajar sesuatu, karena kita tidak tahu apa yang akan menunggu kita di depan sana. Ternyata ilmu komputer ini sangat menolong karir saya di dunia kerja. Dari seorang Receptionis, saya dipromosikan ke bagian HRD Training & Recruitment berkat ilmu komputer yang sudah saya kuasai.

Coba bayangkan jika seandainya waktu itu saya malas untuk belajar komputer hanya karena saya menganggap sudah terlambat, maka sudah bisa dipastikan selamanya mungkin saya hanya akan duduk di belakang meja receptionis. Dan sampai hari ini, kalau saya masih bisa dipercaya untuk menjadi seorang trainer, semua karena saya berani berubah, mau belajar hal baru, menguasai teknologi. Meski sampai detik ini, saya tetaplah seorang tunanetra.

Steve Jobs pernah mengatakan, “Stay hungry, stay foolish.”

en_US